Kedua bola mata Ira menatap lekat
aliran air Sungai Deli yang berwarna kehitaman dan penuh sesak sampah. Hatinya
galau, kapankah derita asmara yang dipendamnya itu tuntas.
“Ira, aku tak tahu kenapa hatiku terus
merindukanmu,” ucap Wathan di sampingnya.
“Ah, itu perasaanmu saja, Wa.
Mungkin juga akan hilang bila kita sudah tamat kuliah dan tak lagi berjumpa di
kelas,” sahut Ira pelan. Matanya tak lepas menatap timbunan sampah yang saling
mendorong dihempas arus sungai.
“Tengok,
tengoklah air itu Wa!” seru Ira sambil menunjuk ke arah air sungai berwarna
hitam akibat limbah industri dan sampah yang dibuang sembarangan.
“Coba tengok air itu, dulunya jernih
banyak ikan gabus, sepat, lele dan yuyu. Sekarang sudah musnah. Yang ada hanya air
kotor dan bau penuh sampah,” ujarnya. Wathan ikut menatap lekat arus air Sungai
Deli sambil berpegangan pada besi pinggir jembatan.
“Itulah akibat kekurang pedulian
masyarakat. Coba kalau mereka membuang sampah pada tempatnya, tidak membuang
limbah kedalam sungai, pasti Sungai Deli tidak tercemar, teracuni dan
menyebabkan ekosistem terancam. Kasihan nasib ikan lele, gabus, yuyu dan
kerabatnya akibat ulah manusia,” sahut Wathan sambil menghela nafas. Kedua
matanya beralih memandang Ira yang berdiri mematung disampingnya yang tak lepas
memelototi setiap sudut Sungai.
“Begitu juga Wa. Aku tak ingin
kerinduanmu akan diriku tercemar seperti halnya air Sungai Deli ini,” tukas Ira
serak.
“Maksudmu?”
“Hmmm. Aku sudah menemui banyak
pria, merajut kata cinta, menyulamnya dengan janji-janji manis, namun mereka
semua lupa setelah berjumpa dengan wanita lain. Aku tak ingin, engkau seperti
mereka. Diawal mengucap kerinduan, janji setia akan cinta, namun setelah menemui
wanita lain yang lebih baik lupa akan janji dan mencemarinya dengan mengabaikan
janji setia yang dulu terucap dan tega membuat rasa sakit di hatiku. Aku
kecewa,” ungkap Ira pelan.
Matanya
lembab. Tetes air mata menitik. Dengan sigap tangannya mengusap lelehan tetesan
air mata dengan ujung jilbab birunya.
“Maafkan aku Ra. Maafkan bila
membuatmu bersedih dengan memori lama.”
“Ira, coba perhatikan baik-baik
Sungai Deli. Lihatlah itu!” seru Wathan sambil menunjuk arus Sungai Deli. Ira
berhenti sejenak dari tangisnya. Matanya mengikuti arah telunjuk Wathan.
“Lihatlah, sampah yang menumpuk di
sungai, air berwarna kehitaman dan baunya yang menyengat itu. Bukankah itu peringatan
Tuhan kepada manusia sekitarnya agar kembali peduli kepada alam? Itu adalah
gagasan Tuhan kepada kita untuk kembali hidup bersih dan kembali ke masa dulu.
Masa indah Kota Medan dulu saat bergelar Paris Van Sumatera.”
“Tapi, itu sudah terlalu parah, Wa.
Separah hatiku yang memandang semua laki-laki adalah pembohong dan pintar
bermain kata,” sergah Ira tegas.
“Begini Ira, jangan bersangka buruk
dulu. Seperti halnya nasib buruk sungai yang sudah tercemar, Tuhan sebenarnya
mengirim orang-orang yang salah ke dalam hidupmu agar kau tegar dan tidak salah
memilih orang sebelum kau menemui orang yang benar-benar mencintaimu”
“Sama seperti sungai ini. Tuhan
terlebih dahulu memperingatkan akibat ulah dan perilaku manusia lewat kondisi
sungai, agar suatu hari nanti disaat sungai ini bersih manusia menjadi ingat
dan tidak lagi mengulangi untuk mencemarinya,” tambah Wathan sambil memandang
kedua mata Ira dengan teduh. Ada secercah semangat untuk bangkit disana.
Wathan memandang lekat mata Ira. Ira
tersipu. Senja itu, sambil menyantap mie pecal dan aqua cup, mereka berdua
menghabiskan sore di jembatan sambil memandang Sungai Deli. Ada harapan Sungai
Deli kembali bersih, seperti halnya indahnya Sungai Seine yang menjadi ikon
Kota Paris di Prancis. Sungai Deli akan menerima kenyataan menjadi Sungai indah
yang membawa Kota Medan sebagai Paris Van Sumatera seperti tempo dulu. Paling
tidak, begitulah angan Ira dan Wathan sore itu. Azan Maghrib dan senja langit
menjadi saksi. Mereka pulang dengan harapan optimis perubahan. Berubah untuk
tegar dan menjadi lebih baik.
Ne foto di Buluh Cina :) |
********
Acara wisuda tiba. Topi toga dengan
gagah tersemat di atas kepala. Wathan dan Ira adalah dua mahasiswa dari sekitar
lima ratus mahsiswa yang diwisuda hari itu. Sekarang nama mereka berdua
bertambah dengan embel-embel sarjana di belakangnya. Wathan James SPd dan Ira
Elviana Piliang SPd.
“Kemana rencanamu selepas wisuda
ini, Ira?” tanya Wathan gugup.
“Mencoba PNS ke Aceh.”
“Jauh amat. Kenapa tidak di Kota
Medan saja?”
“Aku ingin mengubah nasib, Wa.
Akulah satu-satunya harapan keluarga. Akulah satu-satunya yang bersekolah
hingga perguruan tinggi. Aku tak ingin mengecewakan keluarga. Aku ingin menjadi
pegawai negeri agar keluargaku bangga dan merasa puas dengan harapan yang
selama ini disandarkan padaku untuk menjadi ‘orang’."
“Kenapa tidak mencoba di Kota Medan
saja, Ra. Kau punya pengalaman mengajar les anak-anak.”
“Tapi kan kau tahu sendiri, Wa. Gaji
guru non PNS begitu mengenaskan.”
“Begini Ira. Melihat potensimu, ada
baiknya potensimu diarahkan mengajar les dengan membuka usaha les sendiri.”
“Maksudmmu?”
“Aku punya tabungan cukup untuk
menyewa gedung dan membeli perlengkapan dan peralatan les. Aku ingin mengajakmu
bekerja sama. Coba kita rubah pola pikir kita untuk membuka lapangan kerja
sendiri dengan membuka usaha les sekaligus mengamalkan ilmu yang kita dapat.”
“Jangan Wa. Nanti rugi. Soalnya
bukan main-main buka usaha. Apalagi kita berlatar belakang sarjana pendidikan.”
“Itulah mental, Ra. Bila kita takut
memulai dari sekarang, maka segala hal takkan pernah kita ketahui apakah
hasilnya baik atau tidak. Aku hanya ingin, kau menemaniku bekerjasama. Dan,
maukah kau menjawab pertanyaanku dengan jujur?” tanya Wathan agak terbata.
Hatinya berdebar. Suara kecil jiwanya memaksanya agar mengutarakan perasaaan
yang lama dipendamnya.
“Apakah itu, Wa?”
“Maukah kau menjadi istriku yang
setia mendampingiku? Aku ingin selalu bersamamu membangun kehidupan,
menyaksikan Sungai Deli, dan mengajari anak-anak bangsa agar berilmu dan peduli
dengan alam walaupun dimulai dari yang paling sederhana seperti membuang sampah
pada tempatnya dan menanam satu pohon. Aku ingin, kita selalu bersama dalam
ikatan cinta resmi.”
Wajah Ira memerah seketika. Ia diam.
Membisu beberapa saat. Wathan juga diam. Hatinya menanti jawaban yang amat lama
ditunggunya. Hari itu, ia bertekad mengutarakan isi hatinya untuk hidup bersama
Ira dalam bingkai rumah tangga yang halal sekaligus membangun mimpi dan
cita-cita bersama untuk menjadikan anak-anak bangsa berilmu, peduli alam
lingkungan dan impian menyaksikan Sungai Deli menjelma menjadi indah seperti
tempo dulu.
“Apakah itu serius, Wa?”
“Ya, Ra. Aku serius. Aku tidak
main-main. Aku ingin memulai segalanya dari nol bersamamu.”
“Apakah kau berjanji tidak akan
meninggalkanku seperti orang-orang yang meninggalkan dan tidak perduli lagi
dengan kondisi Sungai?”
“Aku berjanji sepenuh hati tidak
akan meninggalkanmu. Aku ingin, kita sama-sama berjuang mengembalikan mimpi dan
mewujudkannya.”
“Apakah kau yakin dengan ucapanmu,
Wa?”
“Yakin. Insya Allah.”
“Kalau begitu, lamarlah aku minggu
depan ke orang tuaku.”
“Baik. Dengan senang hati. Aku
mencintaimu, Ira.”
“Aku juga mencintaimu, Wa.”
Tak lama setelah acara pernikahan
dengan perayaan sederhana, mereka berdua mengontrak rumah di pinggiran Sungai
Deli dan membuka usaha les. Meski jatuh bangun dengan usahanya, mereka tetap
optimis. Hasil jerih payahnya membuahkan hasil. Mereka berhasil membuka tiga
cabang bimbingan belajar di Kota Medan. Setiap sore di senja hari sebelum
maghrib, Wathan dan Ira menyempatkan diri duduk dan berbincang sambil memandang
air Sungai Deli yang mengalir. Mereka menanam pohon di sekitar Sungai dan
menyelipkan ajaran kepada anak-anak lesnya untuk mencintai alam dan lingkungan
termasuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar dan peduli Sungai.
Kebahagiaan
mereka bertambah dengan kehadiran dua anak yang mewarnai hari-harinya. Mereka
bahagia merajut mimpi bersama untuk menyaksikan Sungai kembali bersih, menuntun
anak-anak bangsa peduli alam dan kebahagiaan akan kesadaran bahwa hidup adalah
seberapa besar perbuatan nyata akan kepedulian kepada orang lain dan
lingkungan.
Oleh:
Suadi. Penulis adalah Mahasiswa UMSU aktif di LPM Teropong.