Jumat, 01 Juni 2012

SEKEPING CINTA IRA



            Kedua bola mata Ira menatap lekat aliran air Sungai Deli yang berwarna kehitaman dan penuh sesak sampah. Hatinya galau, kapankah derita asmara yang dipendamnya itu tuntas.

            “Ira, aku tak tahu kenapa hatiku terus merindukanmu,” ucap Wathan di sampingnya.
            “Ah, itu perasaanmu saja, Wa. Mungkin juga akan hilang bila kita sudah tamat kuliah dan tak lagi berjumpa di kelas,” sahut Ira pelan. Matanya tak lepas menatap timbunan sampah yang saling mendorong dihempas arus sungai.

            “Tengok, tengoklah air itu Wa!” seru Ira sambil menunjuk ke arah air sungai berwarna hitam akibat limbah industri dan sampah yang dibuang sembarangan.

            “Coba tengok air itu, dulunya jernih banyak ikan gabus, sepat, lele dan yuyu. Sekarang sudah musnah. Yang ada hanya air kotor dan bau penuh sampah,” ujarnya. Wathan ikut menatap lekat arus air Sungai Deli sambil berpegangan pada besi pinggir jembatan.

            “Itulah akibat kekurang pedulian masyarakat. Coba kalau mereka membuang sampah pada tempatnya, tidak membuang limbah kedalam sungai, pasti Sungai Deli tidak tercemar, teracuni dan menyebabkan ekosistem terancam. Kasihan nasib ikan lele, gabus, yuyu dan kerabatnya akibat ulah manusia,” sahut Wathan sambil menghela nafas. Kedua matanya beralih memandang Ira yang berdiri mematung disampingnya yang tak lepas memelototi setiap sudut Sungai.

            “Begitu juga Wa. Aku tak ingin kerinduanmu akan diriku tercemar seperti halnya air Sungai Deli ini,” tukas Ira serak.
            “Maksudmu?”

            “Hmmm. Aku sudah menemui banyak pria, merajut kata cinta, menyulamnya dengan janji-janji manis, namun mereka semua lupa setelah berjumpa dengan wanita lain. Aku tak ingin, engkau seperti mereka. Diawal mengucap kerinduan, janji setia akan cinta, namun setelah menemui wanita lain yang lebih baik lupa akan janji dan mencemarinya dengan mengabaikan janji setia yang dulu terucap dan tega membuat rasa sakit di hatiku. Aku kecewa,” ungkap Ira pelan.

Matanya lembab. Tetes air mata menitik. Dengan sigap tangannya mengusap lelehan tetesan air mata dengan ujung jilbab birunya.

            “Maafkan aku Ra. Maafkan bila membuatmu bersedih dengan memori lama.”
            “Ira, coba perhatikan baik-baik Sungai Deli. Lihatlah itu!” seru Wathan sambil menunjuk arus Sungai Deli. Ira berhenti sejenak dari tangisnya. Matanya mengikuti arah telunjuk Wathan.

            “Lihatlah, sampah yang menumpuk di sungai, air berwarna kehitaman dan baunya yang menyengat itu. Bukankah itu peringatan Tuhan kepada manusia sekitarnya agar kembali peduli kepada alam? Itu adalah gagasan Tuhan kepada kita untuk kembali hidup bersih dan kembali ke masa dulu. Masa indah Kota Medan dulu saat bergelar Paris Van Sumatera.”

            “Tapi, itu sudah terlalu parah, Wa. Separah hatiku yang memandang semua laki-laki adalah pembohong dan pintar bermain kata,” sergah Ira tegas.

            “Begini Ira, jangan bersangka buruk dulu. Seperti halnya nasib buruk sungai yang sudah tercemar, Tuhan sebenarnya mengirim orang-orang yang salah ke dalam hidupmu agar kau tegar dan tidak salah memilih orang sebelum kau menemui orang yang benar-benar mencintaimu”

            “Sama seperti sungai ini. Tuhan terlebih dahulu memperingatkan akibat ulah dan perilaku manusia lewat kondisi sungai, agar suatu hari nanti disaat sungai ini bersih manusia menjadi ingat dan tidak lagi mengulangi untuk mencemarinya,” tambah Wathan sambil memandang kedua mata Ira dengan teduh. Ada secercah semangat untuk bangkit disana.

            Wathan memandang lekat mata Ira. Ira tersipu. Senja itu, sambil menyantap mie pecal dan aqua cup, mereka berdua menghabiskan sore di jembatan sambil memandang Sungai Deli. Ada harapan Sungai Deli kembali bersih, seperti halnya indahnya Sungai Seine yang menjadi ikon Kota Paris di Prancis. Sungai Deli akan menerima kenyataan menjadi Sungai indah yang membawa Kota Medan sebagai Paris Van Sumatera seperti tempo dulu. Paling tidak, begitulah angan Ira dan Wathan sore itu. Azan Maghrib dan senja langit menjadi saksi. Mereka pulang dengan harapan optimis perubahan. Berubah untuk tegar dan menjadi lebih baik.
Ne foto di Buluh Cina :)
            ********

            Acara wisuda tiba. Topi toga dengan gagah tersemat di atas kepala. Wathan dan Ira adalah dua mahasiswa dari sekitar lima ratus mahsiswa yang diwisuda hari itu. Sekarang nama mereka berdua bertambah dengan embel-embel sarjana di belakangnya. Wathan James SPd dan Ira Elviana Piliang SPd.
            “Kemana rencanamu selepas wisuda ini, Ira?” tanya Wathan gugup.
            “Mencoba PNS ke Aceh.”
            “Jauh amat. Kenapa tidak di Kota Medan saja?”

            “Aku ingin mengubah nasib, Wa. Akulah satu-satunya harapan keluarga. Akulah satu-satunya yang bersekolah hingga perguruan tinggi. Aku tak ingin mengecewakan keluarga. Aku ingin menjadi pegawai negeri agar keluargaku bangga dan merasa puas dengan harapan yang selama ini disandarkan padaku untuk menjadi ‘orang’."

            “Kenapa tidak mencoba di Kota Medan saja, Ra. Kau punya pengalaman mengajar les anak-anak.”
            “Tapi kan kau tahu sendiri, Wa. Gaji guru non PNS begitu mengenaskan.”
            “Begini Ira. Melihat potensimu, ada baiknya potensimu diarahkan mengajar les dengan membuka usaha les sendiri.”
            “Maksudmmu?”

            “Aku punya tabungan cukup untuk menyewa gedung dan membeli perlengkapan dan peralatan les. Aku ingin mengajakmu bekerja sama. Coba kita rubah pola pikir kita untuk membuka lapangan kerja sendiri dengan membuka usaha les sekaligus mengamalkan ilmu yang kita dapat.”

            “Jangan Wa. Nanti rugi. Soalnya bukan main-main buka usaha. Apalagi kita berlatar belakang sarjana pendidikan.”

            “Itulah mental, Ra. Bila kita takut memulai dari sekarang, maka segala hal takkan pernah kita ketahui apakah hasilnya baik atau tidak. Aku hanya ingin, kau menemaniku bekerjasama. Dan, maukah kau menjawab pertanyaanku dengan jujur?” tanya Wathan agak terbata. Hatinya berdebar. Suara kecil jiwanya memaksanya agar mengutarakan perasaaan yang lama dipendamnya.

            “Apakah itu, Wa?”
            “Maukah kau menjadi istriku yang setia mendampingiku? Aku ingin selalu bersamamu membangun kehidupan, menyaksikan Sungai Deli, dan mengajari anak-anak bangsa agar berilmu dan peduli dengan alam walaupun dimulai dari yang paling sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya dan menanam satu pohon. Aku ingin, kita selalu bersama dalam ikatan cinta resmi.”

            Wajah Ira memerah seketika. Ia diam. Membisu beberapa saat. Wathan juga diam. Hatinya menanti jawaban yang amat lama ditunggunya. Hari itu, ia bertekad mengutarakan isi hatinya untuk hidup bersama Ira dalam bingkai rumah tangga yang halal sekaligus membangun mimpi dan cita-cita bersama untuk menjadikan anak-anak bangsa berilmu, peduli alam lingkungan dan impian menyaksikan Sungai Deli menjelma menjadi indah seperti tempo dulu.

            “Apakah itu serius, Wa?”

            “Ya, Ra. Aku serius. Aku tidak main-main. Aku ingin memulai segalanya dari nol bersamamu.”

            “Apakah kau berjanji tidak akan meninggalkanku seperti orang-orang yang meninggalkan dan tidak perduli lagi dengan kondisi Sungai?”
            “Aku berjanji sepenuh hati tidak akan meninggalkanmu. Aku ingin, kita sama-sama berjuang mengembalikan mimpi dan mewujudkannya.”
            “Apakah kau yakin dengan ucapanmu, Wa?”
            “Yakin. Insya Allah.”
            “Kalau begitu, lamarlah aku minggu depan ke orang tuaku.”
            “Baik. Dengan senang hati. Aku mencintaimu, Ira.”
            “Aku juga mencintaimu, Wa.”

            Tak lama setelah acara pernikahan dengan perayaan sederhana, mereka berdua mengontrak rumah di pinggiran Sungai Deli dan membuka usaha les. Meski jatuh bangun dengan usahanya, mereka tetap optimis. Hasil jerih payahnya membuahkan hasil. Mereka berhasil membuka tiga cabang bimbingan belajar di Kota Medan. Setiap sore di senja hari sebelum maghrib, Wathan dan Ira menyempatkan diri duduk dan berbincang sambil memandang air Sungai Deli yang mengalir. Mereka menanam pohon di sekitar Sungai dan menyelipkan ajaran kepada anak-anak lesnya untuk mencintai alam dan lingkungan termasuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar dan peduli Sungai.

Kebahagiaan mereka bertambah dengan kehadiran dua anak yang mewarnai hari-harinya. Mereka bahagia merajut mimpi bersama untuk menyaksikan Sungai kembali bersih, menuntun anak-anak bangsa peduli alam dan kebahagiaan akan kesadaran bahwa hidup adalah seberapa besar perbuatan nyata akan kepedulian kepada orang lain dan lingkungan.

Oleh: Suadi. Penulis adalah Mahasiswa UMSU aktif di LPM Teropong.