“Mental inlander itu mental jongos. Kalau mental seperti itu masih menghinggapi, kita tak bisa bangkit. Mari kita singkirkan mental-mental inlander. Ini yang perlu kita bangkitkan kembali dalam peringatan 100 tahun kebangkitan nasional”
Kutipan di atas disadur dari pidato salah satu tokoh reformasi Indonesia, Amin Rais. Saat itu acara Tabligh Akbar dalam rangka peringatan 100 tahun kebangkitan nasional di hadapan ribuan warga Muhammadiyah kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sebagai orang Indonesia, mungkin saja gerah, panas, dan geram bila membaca judul yang saya tuliskan di atas. Siapa sih yang mau di sebut jongos? Namun, jika mau jujur memang itulah kenyataan fenomena yang tersaji di pelupuk mata kita sehari-hari. Pengemis di setiap pinggir jalan, kasus mesuji, problematika TKI Indonesia di luar negeri, hingga akhlak para pemimpin yang seharusnya jadi teladan malah tega berbuat nista mengkorupsi uang rakyat. Duet kepemimpinan SBY-Budiono sepertinya belum mampu mengentaskan kemiskinan yang semakin menjamur di negeri ini. Berdasarkan data terbaru Asian Development Bank (ADB) jumlah orang miskin di Indonesia bertambah sebanyak 2,7 juta jiwa.
Ironinya, dilihat dari segi sumber daya alam dan sumber daya manusia, Indonesia bukanlah sebuah negeri minus. Tetapi, negeri yang memiliki sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang amat melimpah. Bayangkan, republik ini dikaruniai Tuhan berupa segala macam bahan tambang, lahan subur yang luas, hutan luas, ribuan pulau, serta perairan yang menyimpan potensi ekonomi maritim yang besar. Penduduk sejumlah 250 juta bukanlah sedikit. Kuantitas sumber daya manusia sebesar itu bisa menjadi power penggerak ekonomi sekaligus pangsa pasar yang luar biasa. Sedihnya, semua sektor sumber uang yang amat menggiurkan itu telah di genggam pihak asing di balik topeng liberalisasi ekonomi. Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa negeri ini masih miskin (baca: masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan)? Apa yang salah?
Selama ini, publik terus di nina bobokkan dengan laporan mengagumkan pemerintah pertumbuhan ekonomi makro Indonesia sebesar 7 % pertahun. Namun pertumbuhan tersebut tidak berpengaruh apa-apa bagi rakyat miskin yang bertebar di seantero negeri ini. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro bahkan angka kemiskinan Indonesia paling tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Meski pertumbuhan ekonomi sedemikian kuat, seolah tidak memberikan efek apa-apa kepada rakyat pinggiran, hanya segelintir saja yang menikmati.
Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Kita juga tidak bisa menilai duet kepemimpinan SBY-Budiono gagal mereduksi angka kemiskinan yang semakin meningkat tajam. Karena semua pihak bertanggung jawab atas hal ini. Laporan ADB 2008 menyatakan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40,4 juta jiwa dan menyentuh angka 43,1 juta jiwa di tahun 2010 tidak bisa kita abaikan. Hal itu bisa menjadi bom waktu yang bisa saja menyebabkan ledakan multi-dimensi akibat ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Bukan tidak mungkin mereka yang merasa ter-marjinalkan dari menikmati kue pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan melakukan tindakan anarkisme demi menuntut keadilan dan hak-haknya. Bukan hal mustahil gara-gara urusan perut sejengkal yang terdesak melakukan segala cara untuk tetap bertahan hidup.
Sebagai rakyat kecil, kita mungkin hanya bisa berteriak sampai tenggorokan kering tanpa di acuhkan pihak penguasa. Stakeholders negeri ini sepertinya sengaja menulikan telinga dengan melepas semua aset bangsa atas nama privatisasi ekonomi. Freeport, blok natuna, gas alam bontang, hutan luas pedalaman kalimantan, hingga sektor paling vital seperti perkebunan, perbankan, hingga minyak bumi semuanya di serahkan ke pihak asing. Dengan rela para pemimpin negeri ini membubuhkan tanda tangannya menyerahkan ke pihak asing dengan dalih Hak Guna Usaha (HGU) yang berdurasi puluhan tahun dan berdampak tersingkirnya masyarakat kelas bawah, rakyat negeri ini untuk mengelolanya sendiri. Tinggal sedikit yang dimiliki bangsa ini. Padahal, mereka adalah pewaris sah dari hasil keringat nenek moyangnya dulu saat memperjuangkannya merdeka dari cengkeraman penjajah.
Kita tidak tahu pasti isi kepala para pemimpin kita sampai tega membela kepentingan asing ketimbang rakyat sendiri dikarenakan terlena dengan beberapa lembar uang. Rakyat negeri ini seolah terpenjara di tanah kelahiran sendiri. Saking tiadanya lagi harapan disebabkan sempitnya lapangan kerja, orang Indonesia berbondong-bondong rela bekerja menjadi pembantu, pesuruh di negeri orang meski beresiko di siksa, di aniaya hingga hukuman pancung.
Harusnya para pemimpin negeri ini malu, anggota dewan malu, kita semua juga malu sebuah bangsa besar yang memiliki sumber daya alam yang amat melimpah dan sumber daya manusia yang berjumlah ratusan juta hanya bisa diam terpaku saudaranya disiksa di negeri orang hanya dikarenakan demi untuk mencari sesuap nasi. Tidak pantas rasanya berbangga hati melabeli mereka dengan sebutan “Pahlawan Devisa”. Mestinya pahlawan devisa negara ini adalah hasil dari ekspor hasil hutan, pertambangan, perbankan, industri dan tenaga kerja professional bukan malah hasil keringat rakyat sendiri yang menjadi pembantu di negeri orang.
Miris memang tapi itulah kenyataan. Kita belum mampu sepenuhnya mengelola sumber daya alam sendiri karena tidak terbiasa mandiri. Sejak kecil budaya lingkungan mendukung kita untuk selalu tergantung kepada orang lain yang mengarah pembentukan karakter-karekter inlander: pesuruh. Misalnya, Sejak di bangku sekolah sebagian para siswa takut jika mendapat nilai jelek. Apapun dilakukan demi mendapat nilai bagus termasuk mencontek.
Di akhir penghujung semester, di saat ujian nasional tiba, para pelajar ketakutan tidak mencapai nilai target kelulusan. Pun, pihak sekolah tidak mau mengambil resiko dengan fakta anak didiknya terbanyak yang tak lulus ujian nasional. Disini, pihak sekolah dengan segala upaya membantu siswanya dengan memberikan contekan massal dengan tujuan terhindar dari ketidaklulusan yang bisa membuat nama baik sekolah tercoreng dan malu. Dari hal sederhana ini, diajarkan untuk tidak menerima kenyataan walau dengan cara-cara nista. Sebuah ajaran dini pembentukan karakter yang buruk. Harusnya setiap pendidik mengapresiasi baik buruknya hasil belajar siswa sejak dini. Karena dengan begitu bisa memacu semangat pelajar untuk mandiri, terus belajar dan meningkatkan kreatifitasnya.
Demikian pula di saat siswa-siswa yang lulus tadi mengenyam bangku perkuliahan. Untuk mengerjakan tugas skripsi cukup dengan menempah nya dengan kisaran harga jutaan. Atau, mengerjakan sendiri dengan data-data rekayasa. Jadilah seorang sarjana aspal. Asli tapi palsu karena tidak dengan skripsi dari hasil otak sendiri. Sarjana-sarjana semacam inilah yang sekarang banyak memimpin negeri gemah ripah loh jenawi ini.
Semenjak kecil memang budaya mengarahkan dengan pembentukan karakter inlander. Setiap hari di cekoki keharusan belajar sungguh-sungguh agar mendapat nilai bagus lalu mendapat pekerjaan yang bagus pula. Institusi pendidikan menjadi ajang mencari legalitas agar mudah mendapatkan pekerjaan. Perusahaan pun menilai sisi tamatan dunia pendidikan dari segi nilai yang di dapat ketimbang dari kemampuan softskill yang di miliki pelamarnya. Jadilah SDM negeri ini berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan titel dengan nilai yang tinggi tanpa mempedulikan kualitas dan inti dari pendidikan itu sendiri yaitu wahana pembentukan karakter anak bangsa serta media pengarah mindset dari yang kaku ke openminded.
Selain itu, sistem pendidikan Indonesia juga lebih mengarah kepada penguatan mental inlander. Apalagi yang masih menerapkan sistem hafalan. Pemerintah sudah berusaha memantapkan pendidikan dengan mencanangkan program CBSA (cara belajar siswa aktif) hingga kompetensi berbasis kurikulum. Namun, sepertinya upaya pemerintah belum berhasil mengubah cara pandang peserta didiknya dari mental inlander ke mental majikan dan pengusaha.
Setiap mahasiswa akhir di setiap perguruan tinggi di negeri ini lulus, di saat itu pula angka pengangguran bertambah. Anggapan masyarakat umum adalah alumni perguruan tinggi kerja enak, berdasi, serta gaji yang lumayan. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi setiap lulusan untuk berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan sementara lowongan kerja amat terbatas. Yang amat di sayangkan, amat sedikit dari lulusan perguruan tinggi yang terjun ke dunia usaha menjadi pengusaha. Padahal, figur orang terkaya di dunia saja memulai usaha dari nol bahkan harus mengorbankan kuliahnya. Karena subtansi terpenting dari pendidikan bukan selembar ijazah yang di gunakan sebagai jimat di saat melamar kerja, tetapi pendidikan adalah tempat pembentukan watak dan karakter menuju generasi yang mandiri serta berfikiran maju, tidak di bawah ketergantungan kepada pihak lain.
Di tempat kuliah penulis sendiri, kebanyakan mahasiswa lebih mementingkan sisi akademis. Kebanyakan hanya fokus kuliah sungguh-sungguh agar mendapat nilai baik dan di terima kerja di kemudian kelak sesuai yang di inginkan. Atau, belajar dengan tekun agar mendapat nilai bagus yang ujung-ujungnya di terima jadi pegawai. Atau di terima bekerja di sebuah perusahaan yang di impikan. Mental jadi pegawai dan pekerja adalah mental pesuruh dan buruh. Sudah waktunya bagi kita untuk membangun mental majikan dengan membuka lapangan kerja dengan di mulai dari hal kecil, misalnya kuliah sambil berjualan kecil-kecilan dengan motif memupuk kemnadirian. Bagaimana bangsa ini mengelola aset yang SDM dan SDA amat melimpah jika generasi yang berpendidikan mumpuni saja masih berfikir menjadi bagian dari mental jongos itu sendiri.
Sebagai negara dengan luas lahan subur yang membentang, Indonesia harusnya menjadi pengekspor hasil pertanian. Namun kenyataannya malah menjadi pengimpor beras, buah-buahan, gula, serta bahan pokok penting lainnya. Hidup di kelilingi kekayaan alam yang melimpah cukup untuk menghidupi rakyat tanpa harus menjadi pembantu di negeri orang lain. Ironis memang, harta pemberian Tuhan tersebut berada di tangan pihak asing. Mereka yang mengelola dan membawanya pulang ke negerinya. Sementara rakyat kita sebagai pemilik hanya di sisihkan satu persen dari semua yang telah di hasilkan. Seolah, malah bangsa ini yang numpang di rumahnya sendiri. Untunglah, udara dan matahari sebagai sumber kehidupan manusia terbesar masih bebas dan tidak bisa di privatisasi. Kalau tidak, bisa di bayangkan mungkin kita akan membeli sinar matahari dan udara setiap kali bernafas.
Solusi Kedepannya
Pemerintah harus bergerak cepat. Rakyat juga harus di sadarkan. Semua orang Indonesia wajib di bangunkan dari alam inlander yang terus memenuhi mental dan karakter bangsa. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama Banyak ilmuwan-ilmuwan putra bangsa yang tersebar di seantero negeri ini dan juga di luar negeri yang memiliki kemampuan khusus mengelola sumber daya alam Indonesia. Pemerintah selayaknya mengapresiasi mereka dengan memberikan kesempatan untuk mengelola aset bangsa, bukan memprivatisasikanya ke pihak asing, agar bangsa ini bisa mandiri tidak melulu bergantung dengan bantuan asing.
Kedua Adalah merupakan suatu keniscayaan bilamana pemerintah benar-benar menerapkan pemberantasan korupsi dengan sanksi tegas. Karena pelaksanaannya terkesan setengah hati, tebang pilih. Hasilnya, koruptor leluasa melanjutkan aksinya yang berakibat habisnya uang negara yang seharusnya untuk membangun negara. Disamping itu, hukuman yang ringan dengan kisaran belasan bulan kurungan penjara bukanlah suatu cara efektif meredam virus korupsi yang akut. Perlu pengkajian dan peninjauan ulang terhadap hukuman yang cocok untuk para koruptor agar sesegera mungkin bertobat merampoki uang rakyat. Mungkin hukuman mati seperti yang telah di terapkan negara China bisa jadi alternatif hukuman yang cocok. Karena memang terbukti ampuh menurunkan tingkat korupsi di negeri tirai bambu tersebut.
Ketiga Re-negosiasi terhadap kontrak asing atas pengelolaan sumber alam Indonesia. Karena bagaimanapun, rakyat Indonesia lebih berhak mengelolanya di banding pihak asing. Bila berbicara kurangnya tenaga professional dalam negeri, mungkin hal itu tidak relevan. Karena Indonesia sudah memiliki banyak ahli yang mumpuni di bidang pengelolaan sumber daya alam. Tinggal pemerintah nya saja bagaimana menggerakkannya dan menjembataninya dengan pihak dunia usaha. Sehingga, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “ benar-benar terwujud dan menjadi kenyataan.
Keempat Pendidikan yang mengarah ke pembentukan mental mandiri dan berkarakter. Hal ini bisa di mulai dari pembentukan pendidikan yang bertumpu pada akhlak dan kepribadian yang baik, ketimbang hanya di ukur dengan nilai atau lulus tidaknya seorang pelajar. Karena tujuan utama pendidikan bukan di nilai dari berapa nilai yang di dapat peserta didik, tetapi seberapa jauh peserta didik itu berubah cara pandang berfikirnya dalam menyikapi hidup dan mengatasi problematika dalam kehidupan sehari-hari.
Kelima Penghematan nasional. Sudah selayaknya pejabat negara, anggota dewan serta pegawai pemerintahan tidak boros mengahambur-hamburkan uang untuk proyek yang kurang jelas. Sejatinya, para pemimpin dipilih adalah untuk memperjuangkan rakyat, penyampai aspirasi rakyat, dan sebagai pelayan rakyat. Adalah suatu hal yang tidak baik bahkan terkutuk, bilamana amanah ratusan juta rakyat di khianati. Semestinya rakyat yang mengemis di jalan, kaum fakir miskin, serta gelandangan di bangunkan sebuah bangunan sebagai tempat penampungan sekaligus memberikan penyuluhan agar mereka bisa berkarya dan berusaha di tengah masyarakat. Dananya bisa di ambil dari anggaran pemerintah, ketimbang di gunakan anggota dewan terhormat untuk studi banding keluar negeri atau merenovasi toilet gedung DPR yang mencapai triliunan rupiah.
Untuk menjadi bangsa yang mandiri dan terhormat, mental jongos atau inlander harus dihilangkan. Hal itu dimulai dari hal-hal yang kecil. Tidak tergantung orang lain, tidak mencontek, tidak plagiat/menjiplak hasil karya orang lain, serta memiliki integritas yang tidak mudah goyah hanya di karenakan segepok uang. Selain itu, hendaknya para pemimpin sadar dan berani untuk tidak tunduk kepada kepentingan asing. Bangsa Indonesia sudah selayaknya menjadi tuan di negeri sendiri, tidak perlu mencari sesuap nasi menjadi pembantu di negeri orang lain. Sehingga, kalimat Indonensia sebuah bangsa besar bermental jongos tidak lagi melekat di dahi rakyat negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah vitamin bagi saya