Anak Muda, Mari Setia Berbahasa Daerah...!
Kita mungkin heran, kenapa akhir-akhir ini kawula muda Indonesia lebih menggandrungi tradisi asing yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya lokal. Lebih menyenangi kesenian, tradisi dan budaya luar ketimbang budaya sendiri. Kemungkinan saja faktor bahasa daerah berperan besar dalam hal ini.
Sederhananya, bagaimana mungkin kesenian tradisional, budaya lokal dan tradisi yang diturunkan bisa digemari dan dicontoh bila bahasa yang digunakan dalam melakukan hal tersebut tidak dapat dipahami generasi penerusnya. Bagaimana pula tradisi kedaerahan bisa diwarisi bila pewaris yang meneruskan tidak menguasai bahasa daerahnya sebagai modal terpenting untuk menjaga keutuhan budayanya.
Secara lebih mendalam, bahasa merupakan instrumen sempurna yang diberikan Tuhan kepada kita tidak hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga sebagai sarana mengukuhkan jati diri kita. Bahasa daerah merupakan simbol paling sempurna sebagai sarana pengekspresian tata cara, adat, komunikasi sosial, dan pranata sosial. Ia tidak saja mengandung makna, tetapi juga tata nilai sebuah budaya (Dr. Arif Budi Wurianto, Universitas Muhammadiyah Malang).
Namun, akan lain ceritanya jika sebuah bahasa daerah tidak lagi dipakai penutur-penutur aslinya. Segala budaya dan perangkat yang memperkayanya ikut musnah secara perlahan bila sebuah bahasa daerah sebagai simbolnya tidak lagi dipakai dan sudah dilupakan.
Bila kita mencermati generasi muda di sekeliling kita, maka bahasa yang seringkali dipakai adalah bahasa Indonesia. Tidak ada salahnya berkomunikasi menggunakan bahasa nasional jika komunikasi terjadi antar etnis dan bahasa daerah berbeda. Namun, alangkah lebih afdol bila bahasa daerah dipakai dalam pergaulan sesama etnis dan di rumah dengan tujuan budaya dan bahasa sebagai ciri khas tidak luntur dan terjaga eksistensinya.
Mari kita menyisihkan waktu sejenak untuk mengamati. Kawula muda lebih merasa pede dan keren menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya. Namun sakitnya, bahasa nasional kita yang seharusnya mencerminkan jati diri bangsa Indonesia malah lebih berbau asing akibat banyaknya kosakata asing yang dipakai dan familiar dibandingkan kosakata bahasa daerah.
Tujuan penguasaan bahasa daerah bagi generasi muda senantiasa tidak hanya sebagai alat komunikasi sesama etnis dan sarana ampuh menjaga kelestarian budaya, namun juga ikut memberikan sumbangsih yang besar dalam perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Tidaklah elok rasanya bila Indonesia yang memiliki 746 bahasa daerah masih mengimpor kosakata asing.
Secara gamblang, bila memang bahasa Indonesia lebih dikedepankan, mengapa nama toko, hotel, poster, iklan, bahkan media cetak lebih merasa ‘nyaman dan keren’ dengan kosakata asing. Sebutlah contoh kata Magazine, lifestyle, visit Indonesia, fashion, printing dan masih banyak lagi. Kenapa tidak dengan kosakata Indonesia berupa majalah, gaya hidup, jelajah Indonesia, percetakan.
Belum lagi percakapan sehari-hari. Dari anak-anak, anak muda hingga orang tua, rasanya tidak pas dan keren kalau tidak memakai bahasa Indonesia yang selalu dibumbui bahasa asing, ikut-ikutan para bintang film di televisi atau iklan yang kerap menggunakan istilah asing. Padahal kalau mau jujur, kita punya begitu banyak kosakata bahasa-bahasa daerah dari Sabang sampai Merauke yang bisa memperkaya kosakata bahasa nasional kita. Disini terlihat kesetiaan kita akan bahasa nasional dipertanyakan.
Hingga menanggapi fenomena ini sejarawan Swiss Hebert Luethy dengan sinis mengatakan bahwa sebagai bahasa, bahasa Indonesia suka meminjam istilah asing apa saja dengan begitu melimpah, sehingga seolah merupakan bahasa ‘sintesis’atau bahasa buatan (Benedict Anderson, 1990).
Sudah sepatutnya kita insyaf untuk setia memakai bahasa daerah. Jangan sampai perbuatan latah asal comot kosakata asing membuat perbendaharaan kosakata bahasa nasional kita tidak nampak asli cerminan bahasa dan gaya Indonesia.
Setia Dan Cinta Bahasa Daerah
Menyikapi ancaman punahnya bahasa daerah, pemerintah berusaha menjaga kelestarian bahasa daerah lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 yang berisi tentang pelestarian, pembinaan, dan pengembangan bahasa nasional dan daerah. Namun, kelihatannya belum cukup mujarab menjaga keberadaan bahasa daerah dari nasib kepunahan. Perlu peraturan yang lebih tegas lagi setingkat undang-undang tentang bahasa. Dan bila perlu menjadi mata pelajaran wajib yang diajarkan disekolah disamping materi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sejak dini.
Bila kebiasaan menggunakan bahasa daerah di kalangan generasi muda semakin pudar, maka tak mustahil satu dua dekade atau bahkan hitungan tahun sebuah bahasa daerah hilang begitu saja dari peredaran. Mengingat, banyak penutur bahasa daerah yang semakin hari semakin menyusut dalam hitungan ratusan, puluhan bahkan perseorangan. Seperti bahasa Lom di pedalaman Sumatera, bahasa Mapia di pedalaman Papua, bahasa Lengilu di Kalimantan, bahasa Hukumina, Kayeli, Salas di Maluku dan masih banyak bahasa-bahasa daerah lainnya yang tersebar di wilayah Indonesia lainnya.
Kalaulah bukan kita yang peduli menggunakan bahasa daerah kita sendiri, mau siapa lagi yang akan menjaganya. Semangat setia dan cinta berbahasa daerah harus kita tanamkan menghujam dalam hati, dan dibuktikan dengan penerapan langsung dalam komunikasi sehari-hari. Dengan begitu, kita tidak hanya mampu menguasai bahasa daerah secara lisan, tetapi juga mahir menggunakannya dalam ranah tulisan yang bisa memunculkan istilah-istilah baru yang berbau asli Indonesia. sehingga kosakata bahasa Indonesia murni berasal dari bahasa-bahasa daerah dan bukan hasil impor dari bahasa asing.
Alangkah terasa akrab dan begitu erat ikatan persaudaraan bila kita saling berkomunikasi dalam bahasa daerah yang sama antar sesama keluarga, famili dan etnis yang sama. Dan kita mencintai seni dan budaya kita karena kita tahu arti dari seni tersebut melalui kemampuan bahasa daerah. Sebagai contoh, seorang anak Mandailing Natal akan lebih mencintai lagu-lagu Mandailing karena paham arti dan lirik lagu tersebut. Dan bila kebiasaan ini dibawa hingga keluar negeri, tanpa disadari merupakan pintu gerbang promosi seni budaya yang tak disadari untuk lebih mengenalkan Indonesia yang asli. Bayangkan, ada berapa seni dan budaya asli Indonesia yang dimiliki negeri ini bila semuanya terjaga dan tetap utuh. Bisa menjadi ladang pariwisata yang menarik wisatawan mancanegara.
Dan kita juga merasa bersaudara dan semangat setanah air yang begitu erat bila menggunakan bahasa Indonesia dalam ranah resmi, komunikasi antar etnis, dan forum resmi ditingkat nasional, pendidikan maupun daerah. Sehingga bisa meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa sesuai semangat yang diusung motto Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Selain itu, dalam kancah internasional, kita juga tidak tertinggal dan gagap dengan penguasaan bahasa asing. Jadi, semua bahasa ada tempat penggunaannya masing-masing. Kembali kepada kita sebagai generasi penerus, apakah masih cinta budaya daerah, bahasa daerah sendiri atau tidak. Bila iya, mari kita budayakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari disamping bahasa nasional dan bahasa asing.
(Oleh: Suadi Penulis adalah Mahasiswa FKIP Pend. Bhs. Inggris UMSU aktif di UKM LPM Teropong UMSU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah vitamin bagi saya