“Aku tidak suka jika engkau menyentuh kasturi itu dengan tanganmu ketika engkau meletakkannya di timbangan, lalu engkau menyapukannya ke badanmu, karena berarti aku memperoleh bagian yang melebihi hakku”
Kalimat diatas adalah cuplikan dari dialog Umar Ibn Khattab, Khalifah kedua dalam sejarah Islam, dengan istrinya Atikah. Saat itu Umar menerima minyak misik dari Bahrain(salah satu nama daerah di Arab). Istrinya bersikeras ingin menimbang minyak tersebut. Namun, karena Umar takut jika mengambil hak rakyat, ia melarang istrinya menimbang minyak tersebut, takut meski hanya terkena tetesannya. Sesuatu yang menurut kacamata kita hal biasa dan dianggap lumrah, bagi seorang Khalifah Islam yang bernama Umar hal sekecil dan sesepele itu menjadi perhatiannya. Mengingat, Ia tak ingin mengambil sesuatu yang bukan haknya. Ia betul-betul menjaga diri untuk tidak mengambil milik rakyat. Integritasnya tak bisa goyah tergiur harta meski saat itu umat Islam tengah berjaya di bidang ekonomi, politik, serta peradaban.
Jika kita cermati, betapa seorang Umar yang berstatus Khalifah (Raja, Presiden, Pemimpin negara) berhati-hati untuk tidak mengambil hak rakyat walau itu hanya bekas minyak misik. Beliau benar-benar konsisten dengan amanah dan tanggung jawabnya selaku wakil rakyat. Coba kita melongok ke kondisi sekarang, kondisi dimana para wakil rakyat negeri ini mencapai kegemilangan untuk berkuasa dan hidup penuh senandung ‘Lain dimulut lain dihati’.
Jeritan tangis rakyat yang kesusahan, suara isak korban luapan lumpur yang semakin tenggelam hingga tak terdengar rimbanya, gelandangan yang semakin bertambah memenuhi kolong-kolong jembatan, trotoar hingga sudut-sudut kota, pedagang kaki lima yang nasibnya bagai telur diujung tanduk setiap kali aparat menggusur dengan dalih penertiban, serta masih banyak lagi jeritan-jeritan yang meluluhkan hati seakan dianggap angin lalu oleh para penguasa, pemegang kebijakan, atau apalah namanya yang tanpa malu-malu mengaku dirinya wakil rakyat. Tidak mungkin mereka tidak tahu. Media televisi, koran, internet dan majalah selalu memberitakan kondisi rakyat yang semakin susah. Mustahil wakil rakyat tidak tahu-menahu. Namun sepertinya mereka sengaja menulikan telinga dan bersikap acuh tak acuh.
Barangkali wakil rakyat tidak mau disebut dirinya tidak amanah. Tidak terima dibilang penyeleweng hak rakyat. Tidak sudi dipanggil wakil rakyat yang koruptor, tak beriman, tak punya adab, tak punya akhlak, tak punya hati hingga tak punya rasa malu. Atau mungkin mereka juga mantan-mantan penjahat yang gigih berkampanye untuk kebaikan rakyat agar dipilih menjadi wakil rakyat. Namun, begitu dipilih seenaknya menulikan telinga, sibuk memenuhi rongga perut, kantong baju safari, jas, celana dan semua rongga yang dimilikinya dengan uang walau dengan cara-cara nista yang tak pernah terbayangkan oleh para wakil rakyat kita jaman awal kemerdekaan dulu yang ikhlas mengabdi demi rakyat dan negara. Bahkan, rakyat yang tulus memilihnya juga tidak pernah menyangka bila para wakilnya yang selalu menebar janji muluk disaat kampanye tega menghianati sumpah dan janji yang pernah dikobarkannya.
Masih segar di ingatan publik Indonesia para wakil rakyat yang terperangkap kasus korupsi. Dari jajaran presiden, menteri, gubernur, bupati, pejabat, dari kalangan legislatif (DPR) hingga kasta yudikatif (penegak hukum) yang seharusnya berdiri kokoh di garda terdepan membela kebenaran dan keadilan serta mengungkap dan menindak kejahatan, malah ikut-ikutan menjadi aktor kejahatan itu sendiri.
Lalu, menyusul suguhan baru. Rakyat negeri ini yang tak tahu-menahu mungkin terheran-heran mengernyitkan dahi sambil geleng-geleng kepala, kenapa renovasi toilet wakil rakyat mencapai Rp. 2 milyar. Renovasi ruang rapat Banggar(Badan Anggaran) mencapai Rp. 20,3 milyar. Memperbaiki tempat parkir menghabiskan Rp. 3 milyar. Yang lebih aneh lagi, dana membuat kalender tahun 2012 mencapai Rp. 3 milyar.
Secara spontan, timbul pertanyaan disana-sini.Toilet macam apakah yang direnovasi hingga habis sedemikian banyak uang? Apakah juga termasuk toilet umum untuk rakyat? Atau toiletnya bisa menampung ratusan wakil rakyat bila ramai-ramai serentak buang hajat? Ruang rapat macam apa pula hingga menelan biaya 20 milyar? Apakah seperti istana di film-film? Parkir semewah apapula hingga merenovasinya saja berbiaya 3 milyar? Apa lahan parkirnya juga menampung pesawat, helikopter atau bahkan kapal laut? Yang lebih fantastis, kalender sebesar apa pula hingga habis dana 3 milyar? Sepertinya, para wakil rakyat yang duduk di Senayan sana merasa kurang afdol jika anggarannya tidak mencapai angka milyaran rupiah. Atau, barangkali saja mereka sudah lupa ingatan jika uang milyaran bisa membeli beras ratusan ton untuk orang-orang yang mereka wakili yang kini menjerit kelaparan hingga terpaksa mengemis, mencopet, hingga jadi buruh di negeri orang dengan diperlakuan seperti budak.
Usut punya usut, ternyata harga satu kursi untuk ruang rapat badan anggaran saja bisa mencapai 24 juta rupiah. Kabarnya kursi impor dari Jerman yang tentunya memakai Euro untuk membelinya. Yang membuat lebih sakit hati, hal itu terjadi disaat publik negeri ini lagi gencar-gencarnya mendengungkan pemakaian produk dalam negeri akibat optimisme keunggulan generasi muda Indonesia berhasil menciptakan mobil Kiat Esemka. Perbuatan wakil rakyat mengimpor kursi luar negeri secara tidak langsung adalah sama saja mengejek hasil karya anak bangsa. Mengingat, Indonesia juga bukan negara kacangan dalam hal membuat kursi. Kita punya kursi Jepara yang begitu prestisius. Kenapa para wakil rakyat tidak menggunakan produk dalam negeri jika memang mereka wakil rakyat yang semestinya lebih merakyat dan menjadi acuan serta contoh oleh segenap rakyat yang memilihnya. Sugguh sebuah teladan yang tak pantas dipertontonkan.
Bisa jadi perilaku wakil rakyat disebabkan karena memang di hatinya tidak ada lagi ruang buat membela rakyat yang memilihnya. Tak salah jika Iwan Fals pernah menyindir dalam lirik lagunya yang berjudul’Surat buat wakil rakyat’
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tau nyanyian lagu setuju
Jika akhlak para wakil rakyat diilustrasikan dalam bentuk wajah, maka yang terpampang adalah wajah yang penuh bopeng. Bopeng disebabkan tingkah wakil rakyat itu sendiri yang semakin menjadi-jadi, lupa kalau dirinya mengemban amanah untuk menyalurkan aspirasi rakyat banyak. Lupa kalau dulu mereka mengharapkan rakyat untuk memilihnya. Begitu dipilih, ditinggal begitu saja. Habis manis sepah dibuang. Jikalau jiwa wakil rakyat setakwa Umar Ibn Khattab, dimana terkena bekas minyak misik saja sudah dianggap mengambil lebih dari haknya, barangkali negeri ini tidak gaduh, tidak ribut dengan tingkah wakil rakyat yang semakin merajalela membuat undang-undang sesuai pesanan dan mengajukan anggaran untuk memperkaya diri sendiri, jauh dari manfaat untuk rakyat yang diwakilinya.
Sah-sah saja jika kita mengatakan bahwa mungkin mereka berbuat begitu sebagai bagian dari usaha mencari uang dengan jalan apapun demi menutupi utang karena habis untuk kampanye. Atau, mungkin karena sudah tak tahan tergiur uang yang mengelilingi mereka. Atau mungkin, dulunya para wakil rakyat juga aktifis yang lantang mengecam para pemimpin dan wakil rakyat yang korup dan berbuat nista, begitu menjadi penerus, tak tahan dengan godaan berupa kesempatan untuk mengeruk uang rakyat.
Meminjam istilah Bang Napi meski kejahatan bukan karena niat tetapi karena kesempatan, namun baik niat maupun kesempatan tidak layak dijadikan alasan rasional untuk berbuat kejahatan. Setiap dari kita hendaknya memiliki integritas, kepribadian untuk teguh tidak mengambil yang bukan hak milik kita. Disamping pembiasaan untuk mandiri tidak mengambil hak orang lain, juga komitmen untuk konsisten jujur mengemban amanah walau itu dimulai dari diri sendiri. Kita juga berharap dan berdoa, semoga wakil rakyat kita diberi petunjuk oleh Allah, agar sadar bahwa mereka dipilih untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kita juga yakin, masih banyak wakil rakyat yang bersih dan jujur yang bisa mengajak yang lain untuk kembali kejalan yang benar sesuai dengan tugasnya selaku wakil rakyat.
(Oleh: Suadi penulis adalah mahasiswa FKIP UMSU jurusan Pend. Bhs. Inggris aktif di koran Teropong UMSU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah vitamin bagi saya