“Said, aku tak tahu lagi bagaimana mengenyahkan tentara kafir itu dari tanah ini dengan cepat. Seolah mereka kawanan hama yang tak ada habisnya. Pun peralatan mereka semakin hari semakin modern. Sementara kita, peluru saja susahnya bukan main mencarinya” ujar Mubarak geram sambil mematut-matut senapan Kalashnikov yang dipegangya.
“Allah bersama orang-orang yang sabar. Inilah kesempatan kita untuk tetap istiqomah di jalan Allah menegakkan kalimat Allah, atau menyerah kepada keadaan. Seorang muslim yang taat diuji dengan cobaan yang berat. Ujian kita saat ini adalah melawan Israel dengan senjata seadanya dan mempertahankan iman kita. Apakah kita rela melepas kesempatan surga Allah yang seluas langit dan bumi hanya karena takut dengan musuh? Tidak Mubarak. Tidak akan pernah!” sahut Said membara.
Telapak tangan kirinya yang tidak memiliki jari manis akibat tertembak peluru Zionis saat Intifada menggenggam sebuah batu. Lalu melemparkannya ke tumpukan batu yang menggunung.
“Bukan itu maksudku, Said”
“Jadi apa? Kau sudah muak dengan jihad ini? Atau ingin menjadi domba yang siap digembalakan dan dijadikan budak setiap saat oleh Israel? Atau kau berhenti menggunakan tanganmu untuk melawan kambing-kambing milik Ariel Sharon? Tidak. Walaupun kau pulang kerumah bersama anak isterimu, tidak akan menjamin mereka untuk berhenti dari niat membunuh dan melenyapkan bangsa kita” tandas Said pedas.
“Begini, akhir-akhir ini aku hanya berpikir....”
“Berfikir apa? Menyerah dengan resolusi PBB yang hanya menguntungkan Yahudi?” potong Said dengan nada amarah.
“Bukan. Aku hanya berfikir, sudah hampir satu abad kita berperang melawan kebiadaban kafir Israel. Rumah, ladang kurma, anak-anak, wanita bahkan tanah kita dirampas dan diinjak-injak. Namun tak satupun saudara kita di negara Islam lain yang membantu dengan tindakan nyata. Mereka hanya bisa berbicara dan menjanjikan. Di depan Yahudi mereka jadi bisu. Kebutralan Israel di Gaza, Sabra dan Shatilla seolah angin lalu saja. Aku tak habis fikir, apakah mereka masih muslim atau tidak. Sebab tak satupun dari mereka menolong kita” jawab Mubarak dengan suara pelan bernada tegas.
“Jangan terlalu kau harapkan makhluk-makhluk Allah, Mubarak! Berharap lah kepada Allah. Dia lah satu-satunya yang patut disembah dan diharap. Dan percayalah, dengan persatuan kuat sesama bangsa Palestina Insya Allah kafir Yahudi akan kita kalahkan!” sahut Said optimis.
Namun diujung matanya mengalir air mata kesedihan. Sedih akan ketidakpastian masa depan bangsanya. Sedih akan perpecahan sesama bangsanya ditengah kecamuk dicabik-cabik bangsa Yahudi. Perpecahan sebangsa antara faksi Hamas dan Fatah gara-gara berbeda pandangan membuat hatinya kian sedih.
“Al-Yahuud..!! Al-Yahuuuud !! Yahudi..!! Yahudi datang. Cepat bersiap” teriak salah seorang anggota Hamas berlari menuju kearah Said dan Mubarak.
ini nih tank merkava pembunuh rakyat palestina |
“Istaiddu lil jihaaad...bersiaplah berjihad..bersiap menyambut seruan syahid!!” tambah yang lain sambil mengokang senapan tua. Bersiap membidik kepala tentara Israel.
Said berkali-kali menyebut nama Allah. Demikian pula Mubarak dan yang lainnya. Meneguhkan keberanian, iman dan pertolongan Allah. Mereka berlindung di balik tumpukan batu, dinding rumah serta parit-parit kecil yang kering. Senapan telah dikokang. Kedua mata mengincar musuh. Ujung moncong senapan menjadi ujung harapan. Harapan membasmi setiap tentara kafir Israel yang berani menampakkan diri .
“Duaaaarrrrrrrrrrrrrr !!!!!!!!!!!”
“Dor...dor...dor....!!!!!”
Deru truk dan tank-tank Israel mendekat disertai rentetan senapan otomatis dan ledakan bom. Satu-persatu pasukan Israel melompat turun dari truk. Tank Merkava Israel mulai memuntahkan peluru, menembus raga pejuang Palestina. Bom-bom dari pesawat F-35 mulai berjatuhan. Menghancurkan rumah, mesjid, sekolah, ladang kurma sekaligus membumihanguskan hak-hak bangsa Palestina.
“Ya rabb...akhh !!! Allah..!! Allah !! teriak Said keras lalu jatuh terkapar. Kepalanya mengalir darah. Peluru timah panas menghantam tepat di pelipisnya. Tak lama setelah mengucap dua kalimat syahadat, maut pun menjemput. Ia telah syahid.
“Buuuuuuummmmmm!!!!”
Ledakan bom menggetarkan tanah. Pertempuran tak seimbang. Israel menghujani para pejuang Palestina dengan muntahan peluru ganas. Mereka menggunakan senjata-senjata modern untuk melawan Pejuang Islam. Sebagai anak emas Amerika, mereka seolah memiliki legitimasi menjajah tanah Palestina tanpa protes PBB. Dunia hanya bisa diam. Batu-batu yang melayang dilempar setiap anak Palestina menjadi saksi. Betapa beringas dan kejamnya Israel. Entah sampai kapan batu-batu tersebut berubah menjadi batu Sijjil yang dilempar burung Ababil untuk melenyapkan kebiadaban Zionis Israel.
“Istanna ya Mubarak !! La tajri !! tunggu ya Mubarak !! jangan lari !!” teriak Hamid yang pincang berlumur darah. Kakinya terkena serpihan bom yang meledak tak jauh dari posisinya.
Mubarak balik menjemput Hamid. Lalu menggotongnya menjauhi arena perang. Peluru terbang berdesingan. Mubarak mengeluarkan kotak kecil yang tergantung di pinggangnya berisi perban, betadine dan obat-obatan seadanya. Ia membersihkan luka Hamid, lalu membalut dengan perban.
“Wahai kakiku, aku ingin engkau menjadi saksi di akherat nanti akan perjuangan kami. Perjuangan menegakkan syiar Allah dan menuntut hak-hak kami. Nanti di hadapan Allah di hari kiamat, aku akan bangga dengan luka yang kau dapat akibat bertempur membela kehormatan agama-Nya!” ucap Hamid menatap kakinya yang terluka sambil meringis kesakitan akibat tiadanya obat bius yang meringankan sakit yang demikian mendera.
“Sabar Hamid. Allah bersama kita. Mari kembali bertempur” ucap Mubarak sehabis selesai mengobati luka Hamid sembari berlari bergabung dengan pejuang lain yang sibuk mengokang senapan membidik pasukan Israel.
Tentara Israel semakin beringas. Bom-bom tank Merkava, meriam kavaleri, serta pesawat F-35 terus ditembakkan. Para pejuang Palestina membalas dengan rentetan senapan kalashnikov, bom molotov, misil rakitan serta lemparan batu. Satu persatu pejuang Palestina berguguran menemui syahid. Pasukan musuh terus merangsek maju. Faktor kekuatan senjata seadanya memaksa para Pejuang untuk mundur.
Gedung-gedung hancur luluh lantak. Jalanan penuh selongsong peluru dan bekas misil yang meledak. Darah berceceran dimana-mana. Mayat bergelimpangan. Wanita, anak-anak, orang tua yang sudah uzur ikut menjadi korban kebiadaban tentara kafir Israel.
Amina menangis sejadi-jadinya. Ia bersimpuh di hadapan mayat suaminya yang tertembak. Anak-anaknya yang masih kecil ikut menangis tanpa tahu menahu. Mereka menangis karena ikut ibunya yang menangis. Tentara Israel dengan sombong merusak dan menendang mayat-mayat pejuang yang berserakan. Para orang tua renta, wanita dan anak-anak meratap. Tak tahu lagi meratap kepada siapa. Mereka hanya bisa memandang kehancuran di hadapan mereka yang terbalut sisa-sisa asap ledakan bom.
“Sudahlah Amina, ikhlaskanlah suamimu. Ia telah mencapai syahid” ucap seorang ibu tua bernama Khadeja.
“Bukan itu yang kutangiskan..”
“Jadi apa, Amina? Jangan kau risaukan lagi suamimu. Ia telah mencapai kehormatan tertinggi berupa syahid. Ikhlaskanlah ia menemui Rabbnya” tambah Khadeja menenangkan isak tangis Amina.
“Yang kutangiskan adalah sanggupkah aku mendidik anak-anak yang dititipkan Allah kepadaku menjadi mukmin yang memiliki jiwa-jiwa Pejuang Palestina? Sanggupkah aku menjadikan mereka penerus yang tangguh dan tidak tunduk kepada kemauan dunia dan nafsu semata?” jawab Amina dengan deraian air mata yang berlinang.
“Insya Allah, kita sanggup Amina. Bukankah Allah berdasarkan persangkaan hamba-Nya? maka berbaik sangkalah kepada Allah dan optimis untuk melahirkan mujahid-mujahid baru yang siap menegakkan kalimat Allah di bumi ini” tukas Khadeja lirih menguatkan Amina.
Asap bom yang tersisa terus membumbung ke angkasa Palestina. Di dalamnya terkumpul harapan-harapan yang akan naik sampai ke langit ketujuh. Harapan lahirnya pejuang Palestina yang meneruskan pejuang yang telah syahid sebelumnya. Harapan untuk memerdekakan tanah air Palestina. Harapan untuk melenyapkan penjajah Zionis Israel. Harapan menghancurkan Tank Merkava pasukan kafir. Sebuah harapan, semoga itulah Merkava terakhir kalinya berkeliaran di bumi Jerusalem.