Senin, 05 Maret 2012

Cerpen Sederhana


Tank Merkava Di Jerusalem
            “Said, aku tak tahu lagi bagaimana mengenyahkan tentara kafir itu dari tanah ini dengan cepat. Seolah mereka kawanan hama yang tak ada habisnya. Pun peralatan mereka semakin hari semakin modern. Sementara kita, peluru saja susahnya bukan main mencarinya” ujar Mubarak geram sambil mematut-matut senapan Kalashnikov yang dipegangya.
            “Allah bersama orang-orang yang sabar. Inilah kesempatan kita untuk tetap istiqomah di jalan Allah menegakkan kalimat Allah, atau menyerah kepada keadaan. Seorang muslim yang taat diuji dengan cobaan yang berat. Ujian kita saat ini adalah melawan Israel dengan senjata seadanya dan mempertahankan iman kita. Apakah kita rela melepas kesempatan surga Allah yang seluas langit dan bumi hanya karena takut dengan musuh? Tidak Mubarak. Tidak akan pernah!” sahut Said membara.
Telapak tangan kirinya yang tidak memiliki jari manis akibat tertembak peluru Zionis saat Intifada menggenggam sebuah batu. Lalu melemparkannya ke tumpukan batu yang menggunung.
“Bukan itu maksudku, Said”
“Jadi apa? Kau sudah muak dengan jihad ini? Atau ingin menjadi domba yang siap digembalakan dan dijadikan budak setiap saat oleh Israel? Atau kau berhenti menggunakan tanganmu untuk melawan kambing-kambing milik Ariel Sharon? Tidak. Walaupun kau pulang kerumah bersama anak isterimu, tidak akan menjamin mereka untuk berhenti dari niat membunuh dan melenyapkan bangsa kita” tandas Said pedas.
“Begini, akhir-akhir ini aku hanya berpikir....”
“Berfikir apa? Menyerah dengan resolusi PBB yang hanya menguntungkan Yahudi?” potong Said dengan nada amarah.
“Bukan. Aku hanya berfikir, sudah hampir satu abad kita berperang melawan kebiadaban kafir Israel. Rumah, ladang kurma, anak-anak, wanita bahkan tanah kita dirampas dan diinjak-injak. Namun tak satupun saudara kita di negara Islam lain yang membantu dengan tindakan nyata. Mereka hanya bisa berbicara dan menjanjikan. Di depan Yahudi mereka jadi bisu. Kebutralan Israel di Gaza, Sabra dan Shatilla seolah angin lalu saja. Aku tak habis fikir, apakah mereka masih muslim atau tidak. Sebab tak satupun dari mereka menolong kita” jawab Mubarak dengan suara pelan bernada tegas.
“Jangan terlalu kau harapkan makhluk-makhluk Allah, Mubarak! Berharap lah kepada Allah. Dia lah satu-satunya yang patut disembah dan diharap. Dan percayalah, dengan persatuan kuat sesama bangsa Palestina Insya Allah kafir Yahudi akan kita kalahkan!” sahut Said optimis.
Namun diujung matanya mengalir air mata kesedihan. Sedih akan ketidakpastian masa depan bangsanya. Sedih akan perpecahan sesama bangsanya ditengah kecamuk dicabik-cabik bangsa Yahudi. Perpecahan sebangsa antara faksi Hamas dan Fatah gara-gara berbeda pandangan membuat hatinya kian sedih.
“Al-Yahuud..!! Al-Yahuuuud !! Yahudi..!! Yahudi datang. Cepat bersiap” teriak salah seorang anggota Hamas berlari menuju kearah Said dan Mubarak.
ini nih tank merkava pembunuh rakyat palestina
Arak-arakan pasukan Israel datang dengan gemuruh mesin perang memecah sengitnya panas matahari. Pasukan tersebut merajalela di daerah Jenin, Tulkarm, Nablus, Ramallah, Hebron hingga Jericho. Mereka membuat kerusakan, mendirikan pemukiman Yahudi dan membangun tembok baja tinggi untuk mengurung rakyat Palestina.
            “Istaiddu lil jihaaad...bersiaplah berjihad..bersiap menyambut seruan syahid!!” tambah yang lain sambil mengokang senapan tua. Bersiap membidik kepala tentara Israel.
            Said berkali-kali menyebut nama Allah. Demikian pula Mubarak dan yang lainnya. Meneguhkan keberanian, iman dan pertolongan Allah. Mereka berlindung di balik tumpukan batu, dinding rumah serta parit-parit kecil yang kering. Senapan telah dikokang. Kedua mata mengincar musuh. Ujung moncong senapan menjadi ujung harapan. Harapan membasmi setiap tentara kafir Israel yang berani menampakkan diri .
“Duaaaarrrrrrrrrrrrrr !!!!!!!!!!!”
“Dor...dor...dor....!!!!!”
            Deru truk dan tank-tank Israel mendekat disertai rentetan senapan otomatis dan ledakan bom. Satu-persatu pasukan Israel melompat turun dari truk. Tank Merkava Israel mulai memuntahkan peluru, menembus raga pejuang Palestina. Bom-bom dari pesawat F-35 mulai berjatuhan. Menghancurkan rumah, mesjid, sekolah, ladang kurma sekaligus membumihanguskan hak-hak bangsa Palestina.
            “Ya rabb...akhh !!! Allah..!! Allah !! teriak Said keras lalu jatuh terkapar. Kepalanya mengalir darah. Peluru timah panas menghantam tepat di pelipisnya. Tak lama setelah mengucap dua kalimat syahadat, maut pun menjemput. Ia telah syahid.
            “Buuuuuuummmmmm!!!!”
            Ledakan bom menggetarkan tanah. Pertempuran tak seimbang. Israel menghujani para pejuang Palestina dengan muntahan peluru ganas. Mereka menggunakan senjata-senjata modern untuk melawan Pejuang Islam. Sebagai anak emas Amerika, mereka seolah memiliki legitimasi menjajah tanah Palestina tanpa protes PBB. Dunia hanya bisa diam. Batu-batu yang melayang dilempar setiap anak Palestina menjadi saksi. Betapa beringas dan kejamnya Israel. Entah sampai kapan batu-batu tersebut berubah menjadi batu Sijjil yang dilempar burung Ababil untuk melenyapkan kebiadaban Zionis Israel.
            “Istanna ya Mubarak !! La tajri !! tunggu ya Mubarak !! jangan lari !!” teriak Hamid yang pincang berlumur darah. Kakinya terkena serpihan bom yang meledak tak jauh dari posisinya.
            Mubarak balik menjemput Hamid. Lalu menggotongnya menjauhi arena perang. Peluru terbang berdesingan. Mubarak mengeluarkan kotak kecil yang tergantung di pinggangnya berisi perban, betadine dan obat-obatan seadanya. Ia membersihkan luka Hamid, lalu membalut dengan perban.
            “Wahai kakiku, aku ingin engkau menjadi saksi di akherat nanti akan perjuangan kami. Perjuangan menegakkan syiar Allah dan menuntut hak-hak kami. Nanti di hadapan Allah di hari kiamat, aku akan bangga dengan luka yang kau dapat akibat bertempur membela kehormatan agama-Nya!” ucap Hamid menatap kakinya yang terluka sambil meringis kesakitan akibat tiadanya obat bius yang meringankan sakit yang demikian mendera.
            “Sabar Hamid. Allah bersama kita. Mari kembali bertempur” ucap Mubarak sehabis selesai mengobati luka Hamid sembari berlari bergabung dengan pejuang lain yang sibuk mengokang senapan membidik pasukan Israel.
            Tentara Israel semakin beringas. Bom-bom tank Merkava, meriam kavaleri, serta pesawat F-35 terus ditembakkan. Para pejuang Palestina membalas dengan rentetan senapan kalashnikov, bom molotov, misil rakitan serta lemparan batu. Satu persatu pejuang Palestina berguguran menemui syahid. Pasukan musuh terus merangsek maju. Faktor kekuatan senjata seadanya memaksa para Pejuang untuk mundur.
            Gedung-gedung hancur luluh lantak. Jalanan penuh selongsong peluru dan bekas misil yang meledak. Darah berceceran dimana-mana. Mayat bergelimpangan. Wanita, anak-anak, orang tua yang sudah uzur ikut menjadi korban kebiadaban tentara kafir Israel.
            Amina menangis sejadi-jadinya. Ia bersimpuh di hadapan mayat suaminya yang tertembak. Anak-anaknya yang masih kecil ikut menangis tanpa tahu menahu. Mereka menangis karena ikut ibunya yang menangis. Tentara Israel dengan sombong merusak dan menendang mayat-mayat pejuang yang berserakan. Para orang tua renta, wanita dan anak-anak meratap. Tak tahu lagi meratap kepada siapa. Mereka hanya bisa memandang kehancuran di hadapan  mereka yang terbalut sisa-sisa asap ledakan bom.
            “Sudahlah Amina, ikhlaskanlah suamimu. Ia telah mencapai syahid” ucap seorang ibu tua bernama Khadeja.
            “Bukan itu yang kutangiskan..”
            “Jadi apa, Amina? Jangan kau risaukan lagi suamimu. Ia telah mencapai kehormatan tertinggi berupa syahid. Ikhlaskanlah ia menemui Rabbnya” tambah Khadeja menenangkan isak tangis Amina.
            “Yang kutangiskan adalah sanggupkah aku mendidik anak-anak yang dititipkan Allah kepadaku menjadi mukmin yang memiliki jiwa-jiwa Pejuang Palestina? Sanggupkah aku menjadikan mereka penerus yang tangguh dan tidak tunduk kepada kemauan dunia dan nafsu semata?” jawab Amina dengan deraian air mata yang berlinang.
            “Insya Allah, kita sanggup Amina. Bukankah Allah berdasarkan persangkaan hamba-Nya? maka berbaik sangkalah kepada Allah dan optimis untuk melahirkan mujahid-mujahid baru yang siap menegakkan kalimat Allah di bumi ini” tukas Khadeja lirih menguatkan Amina.
            Asap bom yang tersisa terus membumbung ke angkasa Palestina. Di dalamnya terkumpul harapan-harapan yang akan naik sampai ke langit ketujuh. Harapan lahirnya pejuang Palestina yang meneruskan pejuang yang telah syahid sebelumnya. Harapan untuk memerdekakan tanah air Palestina. Harapan untuk melenyapkan penjajah Zionis Israel. Harapan menghancurkan Tank Merkava pasukan kafir. Sebuah harapan, semoga itulah Merkava terakhir kalinya berkeliaran di bumi Jerusalem.
(oleh Suadi, dipersembahkan untuk umat Islam yang peduli)

Menggugat perilaku barbar wakil rakyat yang tega mengkorupsi duit masyarakat. Semoga Tuhan menyadarkan mereka sebelum kematian menjemput mereka




Minggu, 04 Maret 2012

Mengenang semakin memprihatinnya kondisi warisan budaya bangsa, yaitu bahasa daerah. Mari kita jaga bersama. Kalau bukan kita, siapa lagi?


Anak Muda, Mari Setia Berbahasa Daerah...!
            Kita mungkin heran, kenapa akhir-akhir ini kawula muda Indonesia lebih menggandrungi tradisi asing yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya lokal. Lebih menyenangi kesenian, tradisi dan budaya luar ketimbang budaya sendiri. Kemungkinan saja faktor bahasa daerah berperan besar dalam hal ini.
Sederhananya, bagaimana mungkin kesenian tradisional, budaya lokal dan tradisi yang diturunkan bisa digemari dan dicontoh bila bahasa yang digunakan dalam melakukan hal tersebut tidak dapat dipahami generasi penerusnya. Bagaimana pula tradisi kedaerahan bisa diwarisi bila pewaris yang meneruskan tidak menguasai bahasa daerahnya sebagai modal terpenting untuk menjaga keutuhan budayanya.
Secara lebih mendalam, bahasa merupakan instrumen sempurna yang diberikan Tuhan kepada kita tidak hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga sebagai sarana mengukuhkan jati diri kita. Bahasa daerah merupakan simbol paling sempurna sebagai sarana pengekspresian tata cara, adat, komunikasi sosial, dan pranata sosial. Ia tidak saja mengandung makna, tetapi juga tata nilai sebuah budaya (Dr. Arif Budi Wurianto, Universitas Muhammadiyah Malang).
Namun, akan lain ceritanya jika sebuah bahasa daerah tidak lagi dipakai penutur-penutur aslinya. Segala budaya dan perangkat yang memperkayanya ikut musnah secara perlahan bila sebuah bahasa daerah sebagai simbolnya tidak lagi dipakai dan sudah dilupakan.
Bila kita mencermati generasi muda di sekeliling kita, maka bahasa yang seringkali dipakai adalah bahasa Indonesia. Tidak ada salahnya berkomunikasi menggunakan bahasa nasional jika komunikasi terjadi antar etnis dan bahasa daerah berbeda. Namun, alangkah lebih afdol bila bahasa daerah dipakai dalam pergaulan sesama etnis dan di rumah dengan tujuan budaya dan bahasa sebagai ciri khas tidak luntur dan terjaga eksistensinya.
Mari kita menyisihkan waktu sejenak untuk mengamati. Kawula muda lebih merasa pede dan keren menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya. Namun sakitnya, bahasa nasional kita yang seharusnya mencerminkan jati diri bangsa Indonesia malah lebih berbau asing akibat banyaknya kosakata asing yang dipakai dan familiar dibandingkan kosakata bahasa daerah.
Tujuan penguasaan bahasa daerah bagi generasi muda senantiasa tidak hanya sebagai alat komunikasi sesama etnis dan sarana ampuh menjaga kelestarian budaya, namun juga ikut memberikan sumbangsih yang besar dalam perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Tidaklah elok rasanya bila Indonesia yang memiliki 746 bahasa daerah masih mengimpor kosakata asing.
Secara gamblang, bila memang bahasa Indonesia lebih dikedepankan, mengapa nama toko, hotel, poster, iklan, bahkan media cetak lebih merasa ‘nyaman dan keren’ dengan kosakata asing. Sebutlah contoh kata Magazine, lifestyle, visit Indonesia, fashion, printing dan masih banyak lagi. Kenapa tidak dengan kosakata Indonesia berupa majalah, gaya hidup, jelajah Indonesia, percetakan.
Belum lagi percakapan sehari-hari. Dari anak-anak, anak muda hingga orang tua, rasanya tidak pas dan keren kalau tidak memakai bahasa Indonesia yang selalu dibumbui bahasa asing, ikut-ikutan para bintang film di televisi atau iklan yang kerap menggunakan istilah asing. Padahal kalau mau jujur, kita punya begitu banyak kosakata bahasa-bahasa daerah dari Sabang sampai Merauke yang bisa memperkaya kosakata bahasa nasional kita. Disini terlihat kesetiaan kita akan bahasa nasional dipertanyakan.
Hingga menanggapi fenomena ini sejarawan Swiss Hebert Luethy dengan sinis mengatakan bahwa sebagai bahasa, bahasa Indonesia suka meminjam istilah asing apa saja dengan begitu melimpah, sehingga seolah merupakan bahasa ‘sintesis’atau bahasa buatan (Benedict Anderson, 1990).
 Sudah sepatutnya kita insyaf untuk setia memakai bahasa daerah. Jangan sampai perbuatan latah asal comot kosakata asing membuat perbendaharaan kosakata bahasa nasional kita tidak nampak asli cerminan bahasa dan gaya Indonesia.
Setia Dan Cinta Bahasa Daerah
Menyikapi ancaman punahnya bahasa daerah, pemerintah berusaha menjaga kelestarian bahasa daerah lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 yang berisi tentang pelestarian, pembinaan, dan pengembangan bahasa nasional dan daerah. Namun, kelihatannya belum cukup mujarab menjaga keberadaan bahasa daerah dari nasib kepunahan. Perlu peraturan yang lebih tegas lagi setingkat undang-undang tentang bahasa. Dan bila perlu menjadi mata pelajaran wajib yang diajarkan disekolah disamping materi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sejak dini.
Bila kebiasaan menggunakan bahasa daerah di kalangan generasi muda semakin pudar, maka tak mustahil satu dua dekade atau bahkan hitungan tahun sebuah bahasa daerah hilang begitu saja dari peredaran. Mengingat, banyak penutur bahasa daerah yang semakin hari semakin menyusut dalam hitungan ratusan, puluhan bahkan perseorangan. Seperti bahasa Lom di pedalaman Sumatera, bahasa Mapia di pedalaman Papua, bahasa Lengilu di Kalimantan, bahasa Hukumina, Kayeli, Salas di Maluku dan masih banyak bahasa-bahasa daerah lainnya yang tersebar di wilayah Indonesia lainnya.
            Kalaulah bukan kita yang peduli menggunakan bahasa daerah kita sendiri, mau siapa lagi yang akan menjaganya. Semangat setia dan cinta berbahasa daerah harus kita tanamkan menghujam dalam hati, dan dibuktikan dengan penerapan langsung dalam komunikasi sehari-hari. Dengan begitu, kita tidak hanya mampu menguasai bahasa daerah secara lisan, tetapi juga mahir menggunakannya dalam ranah tulisan yang bisa memunculkan istilah-istilah baru yang berbau asli Indonesia. sehingga kosakata bahasa Indonesia murni berasal dari bahasa-bahasa daerah dan bukan hasil impor dari bahasa asing.
                        Alangkah terasa akrab dan begitu erat ikatan persaudaraan bila kita saling berkomunikasi dalam bahasa daerah yang sama antar sesama keluarga, famili dan etnis yang sama. Dan kita mencintai seni dan budaya kita karena kita tahu arti dari seni tersebut melalui kemampuan bahasa daerah. Sebagai contoh, seorang anak Mandailing Natal akan lebih mencintai lagu-lagu Mandailing karena paham arti dan lirik lagu tersebut. Dan bila kebiasaan ini dibawa hingga keluar negeri, tanpa disadari merupakan pintu gerbang promosi seni budaya yang tak disadari untuk lebih mengenalkan Indonesia yang asli. Bayangkan, ada berapa seni dan budaya asli Indonesia yang dimiliki negeri ini bila semuanya terjaga dan tetap utuh. Bisa menjadi ladang pariwisata yang menarik wisatawan mancanegara.
            Dan kita juga merasa bersaudara dan semangat setanah air yang begitu erat bila menggunakan bahasa Indonesia dalam ranah resmi, komunikasi antar etnis, dan forum resmi ditingkat nasional, pendidikan maupun daerah.  Sehingga bisa meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa sesuai semangat yang diusung motto Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
            Selain itu, dalam kancah internasional, kita juga tidak tertinggal dan gagap dengan penguasaan bahasa asing. Jadi, semua bahasa ada tempat penggunaannya masing-masing. Kembali kepada kita sebagai generasi penerus, apakah masih cinta budaya daerah, bahasa daerah sendiri atau tidak. Bila iya, mari kita budayakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari disamping bahasa nasional dan bahasa asing.
(Oleh: Suadi Penulis adalah Mahasiswa FKIP Pend. Bhs. Inggris UMSU aktif di UKM LPM Teropong UMSU)

INDONESIA, Bangsa Besar Bermental “Jongos”


“Mental inlander itu mental jongos. Kalau mental seperti itu masih menghinggapi, kita tak bisa bangkit. Mari kita singkirkan mental-mental inlander. Ini yang perlu kita bangkitkan kembali dalam peringatan 100 tahun kebangkitan nasional”          

Kutipan di atas disadur dari pidato salah satu tokoh reformasi Indonesia, Amin Rais. Saat itu acara Tabligh Akbar dalam rangka peringatan 100 tahun kebangkitan nasional di hadapan ribuan warga Muhammadiyah kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sebagai orang Indonesia, mungkin saja gerah, panas, dan geram bila membaca judul yang saya tuliskan di atas. Siapa sih yang mau di sebut jongos? Namun, jika mau jujur memang itulah kenyataan fenomena yang tersaji di pelupuk mata kita sehari-hari. Pengemis di setiap pinggir jalan, kasus mesuji, problematika TKI Indonesia di luar negeri, hingga akhlak para pemimpin yang seharusnya jadi teladan malah tega berbuat nista mengkorupsi uang rakyat. Duet kepemimpinan SBY-Budiono sepertinya belum mampu mengentaskan kemiskinan yang semakin menjamur di negeri ini.  Berdasarkan data terbaru Asian Development Bank (ADB) jumlah orang miskin di Indonesia bertambah sebanyak 2,7 juta jiwa.
Ironinya, dilihat dari segi sumber daya alam dan sumber daya manusia, Indonesia bukanlah sebuah negeri minus. Tetapi, negeri yang memiliki sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang amat melimpah. Bayangkan, republik ini dikaruniai Tuhan berupa segala macam bahan tambang, lahan subur yang luas, hutan luas, ribuan pulau, serta perairan yang menyimpan potensi ekonomi maritim yang besar. Penduduk sejumlah 250 juta bukanlah sedikit. Kuantitas sumber daya manusia sebesar itu bisa menjadi power penggerak ekonomi sekaligus pangsa pasar yang luar biasa. Sedihnya, semua sektor sumber uang yang amat menggiurkan itu telah di genggam pihak asing di balik topeng liberalisasi ekonomi. Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa negeri ini masih miskin (baca: masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan)? Apa yang salah?
Selama ini, publik terus di nina bobokkan dengan laporan mengagumkan pemerintah pertumbuhan ekonomi makro Indonesia sebesar 7 % pertahun. Namun pertumbuhan tersebut tidak berpengaruh apa-apa bagi rakyat miskin yang bertebar di seantero negeri ini. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro bahkan angka kemiskinan Indonesia paling tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Meski pertumbuhan ekonomi sedemikian kuat, seolah tidak memberikan efek apa-apa kepada rakyat pinggiran, hanya segelintir saja yang menikmati.
Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Kita juga tidak bisa menilai duet kepemimpinan SBY-Budiono gagal mereduksi angka kemiskinan yang semakin meningkat tajam. Karena semua pihak bertanggung jawab atas hal ini. Laporan ADB 2008 menyatakan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40,4 juta jiwa dan menyentuh angka 43,1 juta jiwa di tahun 2010 tidak bisa kita abaikan. Hal itu bisa menjadi bom waktu yang bisa saja menyebabkan ledakan multi-dimensi akibat ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Bukan tidak mungkin mereka yang merasa ter-marjinalkan dari menikmati kue pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan melakukan tindakan anarkisme demi menuntut keadilan dan hak-haknya. Bukan hal mustahil gara-gara urusan perut sejengkal yang terdesak melakukan segala cara untuk tetap bertahan hidup.
Sebagai rakyat kecil, kita mungkin hanya bisa berteriak sampai tenggorokan kering tanpa di acuhkan pihak penguasa. Stakeholders negeri ini sepertinya sengaja menulikan telinga dengan melepas semua aset bangsa atas nama privatisasi ekonomi. Freeport, blok natuna, gas alam bontang, hutan luas pedalaman kalimantan, hingga sektor paling vital seperti perkebunan, perbankan, hingga minyak bumi semuanya di serahkan ke pihak asing. Dengan rela para pemimpin negeri ini membubuhkan tanda tangannya menyerahkan ke pihak asing dengan dalih Hak Guna Usaha (HGU) yang berdurasi puluhan tahun dan berdampak tersingkirnya masyarakat kelas bawah, rakyat negeri ini untuk mengelolanya sendiri. Tinggal sedikit yang dimiliki bangsa ini. Padahal, mereka adalah pewaris sah dari hasil keringat nenek moyangnya dulu saat memperjuangkannya merdeka dari cengkeraman penjajah.
Kita tidak tahu pasti isi kepala para pemimpin kita sampai tega membela kepentingan asing ketimbang rakyat sendiri dikarenakan terlena dengan beberapa lembar uang. Rakyat negeri ini seolah terpenjara di tanah kelahiran sendiri. Saking tiadanya lagi harapan disebabkan  sempitnya lapangan kerja, orang Indonesia berbondong-bondong rela bekerja menjadi pembantu, pesuruh di negeri orang meski beresiko di siksa, di aniaya hingga hukuman pancung.
Harusnya para pemimpin negeri ini malu, anggota dewan malu, kita semua juga malu sebuah bangsa besar yang memiliki sumber daya alam yang amat melimpah dan sumber daya manusia yang berjumlah ratusan juta hanya bisa diam terpaku saudaranya disiksa di negeri orang hanya dikarenakan demi untuk mencari sesuap nasi. Tidak pantas rasanya berbangga hati melabeli mereka dengan sebutan “Pahlawan Devisa”. Mestinya pahlawan devisa negara ini adalah hasil dari ekspor hasil hutan, pertambangan, perbankan, industri dan tenaga kerja professional bukan malah hasil keringat rakyat sendiri yang menjadi pembantu di negeri orang.
Miris memang tapi itulah kenyataan. Kita belum mampu sepenuhnya mengelola sumber daya alam sendiri karena tidak terbiasa mandiri. Sejak kecil budaya lingkungan mendukung kita untuk selalu tergantung kepada orang lain yang mengarah pembentukan karakter-karekter inlander: pesuruh. Misalnya, Sejak di bangku sekolah sebagian para siswa takut jika mendapat nilai jelek. Apapun dilakukan demi mendapat nilai bagus termasuk mencontek.
Di akhir penghujung semester, di saat ujian nasional tiba, para pelajar ketakutan tidak mencapai nilai target kelulusan. Pun, pihak sekolah tidak mau mengambil resiko dengan fakta anak didiknya terbanyak yang tak lulus ujian nasional. Disini, pihak sekolah dengan segala upaya membantu siswanya dengan memberikan contekan massal dengan tujuan terhindar dari ketidaklulusan yang bisa membuat nama baik sekolah tercoreng dan malu. Dari hal sederhana ini, diajarkan untuk tidak menerima kenyataan walau dengan cara-cara nista. Sebuah ajaran dini pembentukan karakter yang buruk. Harusnya setiap pendidik mengapresiasi baik buruknya hasil belajar siswa sejak dini. Karena dengan begitu bisa memacu semangat pelajar untuk mandiri, terus belajar dan meningkatkan kreatifitasnya.

Demikian pula di saat siswa-siswa yang lulus tadi mengenyam bangku perkuliahan. Untuk mengerjakan tugas skripsi cukup dengan menempah nya dengan kisaran harga jutaan. Atau, mengerjakan sendiri dengan data-data rekayasa. Jadilah seorang sarjana aspal. Asli tapi palsu karena tidak dengan skripsi dari hasil otak sendiri. Sarjana-sarjana semacam inilah yang sekarang banyak memimpin negeri gemah ripah loh jenawi ini.
            Semenjak kecil memang budaya mengarahkan dengan pembentukan karakter inlander. Setiap hari di cekoki keharusan belajar sungguh-sungguh agar mendapat nilai bagus lalu mendapat pekerjaan yang bagus pula. Institusi pendidikan menjadi ajang mencari legalitas agar mudah mendapatkan pekerjaan. Perusahaan pun menilai sisi tamatan dunia pendidikan dari segi nilai yang di dapat ketimbang dari kemampuan softskill yang di miliki pelamarnya. Jadilah SDM negeri ini berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan titel dengan nilai yang tinggi tanpa mempedulikan kualitas dan inti dari pendidikan itu sendiri yaitu wahana pembentukan karakter anak bangsa serta media pengarah mindset dari yang kaku ke openminded.
            Selain itu, sistem pendidikan Indonesia juga lebih mengarah kepada penguatan mental inlander. Apalagi yang masih menerapkan sistem hafalan. Pemerintah sudah berusaha memantapkan pendidikan dengan mencanangkan program CBSA (cara belajar siswa aktif) hingga kompetensi berbasis kurikulum. Namun, sepertinya upaya pemerintah belum berhasil mengubah cara pandang peserta didiknya dari mental inlander ke mental majikan dan pengusaha.
            Setiap mahasiswa akhir di setiap perguruan tinggi di negeri ini lulus, di saat itu pula angka pengangguran bertambah. Anggapan masyarakat umum adalah alumni perguruan tinggi kerja enak, berdasi, serta gaji yang lumayan. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi setiap lulusan untuk berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan sementara lowongan kerja amat terbatas. Yang amat di sayangkan, amat sedikit dari lulusan perguruan tinggi yang terjun ke dunia usaha menjadi pengusaha. Padahal, figur orang terkaya di dunia saja memulai usaha dari nol bahkan harus mengorbankan kuliahnya. Karena subtansi terpenting dari pendidikan bukan selembar ijazah yang di gunakan sebagai jimat di saat melamar kerja, tetapi pendidikan adalah tempat pembentukan watak dan karakter menuju generasi yang mandiri serta berfikiran maju, tidak di bawah ketergantungan kepada pihak lain.
            Di tempat kuliah penulis sendiri, kebanyakan mahasiswa lebih mementingkan sisi akademis. Kebanyakan hanya fokus kuliah sungguh-sungguh agar mendapat nilai baik dan di terima kerja di kemudian kelak sesuai yang di inginkan. Atau, belajar dengan tekun agar mendapat nilai bagus yang ujung-ujungnya di terima jadi pegawai. Atau di terima bekerja di sebuah perusahaan yang di impikan. Mental jadi pegawai dan pekerja adalah mental pesuruh dan buruh. Sudah waktunya bagi kita untuk membangun mental majikan dengan membuka lapangan kerja dengan di mulai dari hal kecil, misalnya kuliah sambil berjualan kecil-kecilan dengan motif memupuk kemnadirian. Bagaimana bangsa ini mengelola aset yang SDM dan SDA amat melimpah jika generasi yang berpendidikan mumpuni saja masih berfikir menjadi bagian dari mental jongos itu sendiri.
            Sebagai negara dengan luas lahan subur yang membentang, Indonesia harusnya menjadi pengekspor hasil pertanian. Namun kenyataannya malah menjadi pengimpor beras, buah-buahan, gula, serta bahan pokok penting lainnya. Hidup di kelilingi kekayaan alam yang melimpah cukup untuk menghidupi rakyat tanpa harus menjadi pembantu di negeri orang lain. Ironis memang, harta pemberian Tuhan tersebut berada di tangan pihak asing. Mereka yang mengelola dan membawanya pulang ke negerinya. Sementara rakyat kita sebagai pemilik hanya di sisihkan satu persen dari semua yang telah di hasilkan. Seolah, malah bangsa ini yang numpang di rumahnya sendiri. Untunglah, udara dan matahari sebagai sumber kehidupan manusia terbesar masih bebas dan tidak bisa di privatisasi. Kalau tidak, bisa di bayangkan mungkin kita akan membeli sinar matahari dan udara setiap kali bernafas.
            Solusi Kedepannya
            Pemerintah harus bergerak cepat. Rakyat juga harus di sadarkan. Semua orang Indonesia wajib di bangunkan dari alam inlander yang terus memenuhi mental dan karakter bangsa. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama Banyak ilmuwan-ilmuwan putra bangsa yang tersebar di seantero negeri ini dan juga di luar negeri yang memiliki kemampuan khusus mengelola sumber daya alam Indonesia. Pemerintah selayaknya mengapresiasi mereka dengan memberikan kesempatan untuk mengelola aset bangsa, bukan memprivatisasikanya ke pihak asing, agar bangsa ini bisa mandiri tidak melulu bergantung dengan bantuan asing.
            Kedua Adalah merupakan suatu keniscayaan bilamana pemerintah benar-benar menerapkan pemberantasan korupsi dengan sanksi tegas. Karena pelaksanaannya terkesan setengah hati, tebang pilih. Hasilnya, koruptor leluasa melanjutkan aksinya yang berakibat habisnya uang negara yang seharusnya untuk membangun negara. Disamping itu, hukuman yang ringan dengan kisaran belasan bulan kurungan penjara bukanlah suatu cara efektif meredam virus korupsi yang akut.  Perlu pengkajian dan peninjauan ulang terhadap hukuman yang cocok untuk para koruptor agar sesegera mungkin bertobat merampoki uang rakyat. Mungkin hukuman mati seperti yang telah di terapkan negara China bisa jadi alternatif hukuman yang cocok. Karena memang terbukti ampuh menurunkan tingkat korupsi di negeri tirai bambu tersebut.
            Ketiga Re-negosiasi terhadap kontrak asing atas pengelolaan sumber alam Indonesia. Karena bagaimanapun, rakyat Indonesia lebih berhak mengelolanya di banding pihak asing. Bila berbicara kurangnya tenaga professional dalam negeri, mungkin hal itu tidak relevan. Karena Indonesia sudah memiliki banyak ahli yang mumpuni di bidang pengelolaan sumber daya alam. Tinggal pemerintah nya saja bagaimana menggerakkannya dan menjembataninya dengan pihak dunia usaha. Sehingga, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “ benar-benar terwujud dan menjadi kenyataan.

            Keempat Pendidikan yang mengarah ke pembentukan mental mandiri dan berkarakter. Hal ini bisa di mulai dari pembentukan pendidikan yang bertumpu pada akhlak dan kepribadian yang baik, ketimbang hanya di ukur dengan nilai atau lulus tidaknya seorang pelajar. Karena tujuan utama pendidikan bukan di nilai dari berapa nilai yang di dapat peserta didik, tetapi seberapa jauh peserta didik itu berubah cara pandang berfikirnya dalam menyikapi hidup dan mengatasi problematika dalam kehidupan sehari-hari.
            Kelima Penghematan nasional. Sudah selayaknya pejabat negara, anggota dewan serta pegawai pemerintahan tidak boros mengahambur-hamburkan uang untuk proyek yang kurang jelas. Sejatinya, para pemimpin dipilih adalah untuk memperjuangkan rakyat, penyampai aspirasi rakyat, dan sebagai pelayan rakyat. Adalah suatu hal yang tidak baik bahkan terkutuk, bilamana amanah ratusan juta rakyat di khianati. Semestinya rakyat yang mengemis di jalan, kaum fakir miskin, serta gelandangan di bangunkan sebuah bangunan sebagai tempat penampungan sekaligus memberikan penyuluhan agar mereka bisa berkarya dan berusaha di tengah masyarakat. Dananya bisa di ambil dari anggaran pemerintah, ketimbang di gunakan anggota dewan terhormat untuk studi banding keluar negeri atau merenovasi toilet gedung DPR yang mencapai triliunan rupiah.
            Untuk menjadi bangsa yang mandiri dan terhormat, mental jongos atau inlander harus dihilangkan. Hal itu dimulai dari hal-hal yang kecil. Tidak tergantung orang lain, tidak mencontek, tidak plagiat/menjiplak hasil karya orang lain, serta memiliki integritas yang tidak mudah goyah hanya di karenakan segepok uang. Selain itu, hendaknya para pemimpin sadar dan berani untuk tidak tunduk kepada kepentingan asing. Bangsa Indonesia sudah selayaknya menjadi tuan di negeri sendiri, tidak perlu mencari sesuap nasi menjadi pembantu di negeri orang lain. Sehingga, kalimat Indonensia sebuah bangsa besar bermental jongos tidak lagi melekat di dahi rakyat negeri ini.